Monday, January 13, 2014

Cerpen "Kedai Tua"

“aku tunggu kamu disini. Jangan telat.” Sms terkirim dan aku kembali menunggu. Kuseruput lagi Vanilla coffee favoritku yang sejak tadi setia bersamaku. Kata orang, setiap insan pasti memiliki masalah dan itu benar. Tapi masalah yang menyelimuti seseorang itu berbeda-beda, ada orang yang sampai-sampai sulit bernafas karena masalahnya tetapi adapula yang masih bisa berleha-leha dengan balutan masalahnya.  Tetapi soal respon seseorang tentang kata “masalah” itu sendiri juga bisa dikatakan sangat bervariasi. Namun, bolehkah kita lari dari suatu masalah? Aku rasa boleh. Aku bahkan sedang melarikan masalahku dengan secangkir minuman pahit yang biasa orang sebut sebagai kopi. Mungkin kalian bertanya, “memangnya kopi yang kamu minum bisa menghilangkan masalah kamu?.” Memang sulit memaksa secangkir minuman panas itu untuk menyelesaikan sebuah masalah tapi menurutku kopi bisa dijadikan penghibur dikala stress itu datang. Kalian nggak percaya? Boleh dicoba dan dibuktikan kok.

“zreng… zreng… zreng” balasan smspun datang. “sial, telkomsel lagi” celetukku refleks. Sebenarnya aku sangat benci di sms oleh operator telepon itu, padahal kupikir balasan dari dia. Sambil membaca novel “Ayah” aku kembali menikmati kopi panas yang belum juga habis. Di tempat ini, walaupun aku hanya seorang diri aku selalu merasa tak sedikitpun hampa. Padahal pengunjung kedai ini tak juga ramai. Maklumlah, kedai tua ini sudah sangat tua dan bahkan sudah banyak ditinggalkan oleh langganan dan pengunjungnya yang lebih memilih “café” yang terdengar lebih elegan dan expensif itu. Disini, dikedai tua tepat di sudut kota kecilku aku selalu mengadu masalah-masalahku. Tetapi bukan mengadu kepada kopi, cangkir, penjaga kedai atau ibu kasir yang sudah renta itu tetapi kepada dia.
Sudah lebih dari 3 setengah jam aku disini menghabiskan waktu menunggunya datang. Berulang kali kucoba mengirimkannya pesan singkat bahkan ku coba tuk hubungi dia namun yang kudapatkan hanyalah rasa kecewa. Kucoba sekali lagi namun tak diangkat juga. Sambil menunggunya, kulanjut untuk menamatkan kopiku hingga kutelan ampas-ampasnya yang harum. Tanpa berfikir panjang lagi, ku ayunkan kakiku menuju tempat si renta itu. Dari jauh kulihat dia sedang terkantuk-kantuk karena dibelai hangatnya angin malam ini.
“ibu, semuanya berapa?” tanyaku yang sedikit mengagetkannya
“meja nomor berapa, nak?” jawabnya padaku
“nomor 23, bu” kataku padanya
“oh, semuanya Rp. 25.000” jawabnya sambil memberikanku sebuah struck kecil.
“ini uangnya, bu. Terima kasih ya” sambil ku sodorkan uang lalu berlalu
“iya sama-sama, nak” jawabnya dengan senyuman.
Aku berlalu meninggalkan kedai tua itu. Entah mengapa aku suka sekali dengan tempat itu padahal sudah banyak orang lain yang beralih ke café-café mahal yang eksklusif. Mungkin karena kedai kopi itu konon katanya sudah ada sejak zaman kolonial belanda dan aku percaya itu, karena bangunan kedai itu sudah tua, interiornya pun terlihat seperti di museum–mesueum sejarah, seperti meja kasir dan pintu yang sedikit tinggi terbuat dari kayu oak yang berpelitur, mesin kasirnya pun antik dengan type model tua, disisi sebelah kiri kedai terdapat roti-roti yang masih hangat terpajang dalam etalase tua, Demikian juga alat penimbangan kue yang sudah tua, bahkan pelayan nya pun tak ada yang muda, semua tua. Menurutku, kedai itu sangat unik.
Besok malam aku ingin ke kedai itu lagi. Aku ingin bertemu dengan dia dan aku harap kali ini aku bisa bertemu dengan dia. Sudah lama ini aku tak melihat wajah tirus yang tajam itu serta lingkar bola matanya yang lancip. Aku selalu rindu dengan bagaimana caranya ia berbicara, tertawa, marah, serius atau bahkan terkantuk karena lelah. Oh Tuhan, Aku sangat merindukannya.
Hari ini, tepat sudah 3 tahun aku pulang-balik kedai hanya untuk berharap dia datang dan mau menemuiku. Aku hanya berharap dia datang dan berbicara sepatah dua patah kata atau hanya tersenyum. Tapi mungkin dia sudah ingin meninggalkanku bersama orang lain. Orang lain yang mungkin lebih baik dari aku. “aku harus bisa move on” jeritku dalam hati. Akhirnya aku putuskan untuk melupakannya dan menjalani hidupku tanpanya. Awalnya ini memang berat bahkan sangat berat bagiku. Sulit bagitu untuk begitu saja menghapus segala kenangan dan luka yang telah ia pahat. Dia adalah bak berlian ditengah tsunami. Aku dapat melihatnya diantara milyaran bintang yang ada di Dunia ini. Dia, digaris bawahi adalah sebuah inspirasi terbesar dalam hidupku. Cinta yang tak mungkin padam di tengah banjir lautan api samudera. Cinta pertama sekaligus cinta dengan ikatan kovalen yang begitu komplit dan kompleks sehingga sulit terurai.
“kamu darimana saja?” tanya mama padaku.
“dari kedai, mam” jawabku singkat.
“nunggu dia lagi?” ucapnya polos.
“iya, mam.” Kujawab dengan lesuh.
“nggak ada lagi, kan? Sudahlah dia itu udah ninggalin kamu dan pergi jauh dengan orang lain yang jauh lebih dia cintai. Sudahlah, berhenti cari dia lagi dan lanjutkan hidupmu. Toh dunia juga belum berakhir kan kalau dia ninggalin kamu?” jawab mama panjang lebar.
Aku tak menjawab dan langsung berlalu meninggalkan dapur kecil itu. Sepanjang hari aku terus berpikir dan berpikir hingga aku lelah. Setelah kupikir dan kutimbang matang-matang, “benar juga apa kata mama. Kenapa aku harus menunggu seseorang yang secara mendadak pergi jauh meninggalkanku bahkan tak meninggalkan setitik jejak untukku.”
Akhirnya kulalui hidupku sendiri. Kulalui dengan penuh keikhlasan. Dan Alhamdulillah akhirnya aku bisa menjalani hidupku dengan normal. Hidup sebagai seorang insan yang bahagia.
“akhirnya kamu udah bisa move on ya” ejek mama padaku.
“iya dong, mam. Ini kan juga berkat mama. Berkat doa dan semangat yang selalu mama beri ke aku. Terima kasih ya mama. Aku sayang mama” kupeluk mama dengan erat.
“iya, mama akan selalu melakukan apa saja yang bisa membuat kamu bahagia dan mama juga sayang banget sama kamu” mama membalas pelukku.
“oh iya, gimana kuliahnya. Lancar-lancar aja kan?” tanya mama.
“iya mam. Lancar-lancar aja kok. Bahkan aku rasa kuliahku makin enjoy dan selalu dapat apresiasi yang bagus dari dosen.”  Jawabku dengan penuh gairah.
“Alhamdulillah ya, mama selalu mendoakan kamu yang terbaik termasuk mama doakan kamu supaya kamu menjadi cumlaude di kampus.” Doa mama sambil mengelus rambutku.
“iya, mam. Amin deh. Mam, aku pergi dulu ya mau kerjain tugas nih dirumah teman.” Pamitku ke mama.
“iya, nak. Pulangnya jangan larut malam ya, jangan keluyuran.” Jawab mama padaku.
“ok mam” jawabku singkat.
Saat ini, Ujian Semester, praktek lapangan, keluar rumah untuk ngerjain tugas, penelitian, survei lapangan dan banyak lagi adalah sebagian besar rutinitasku sehari-hari.
“oh iya, kapan nih kita akan melakukan penelitian ke Desa Suka Maju?” tanyaku pada salah satu rekanku, Adi.
“kayaknya sekitar 3 minggu lagi. Soalnya data-data dan bahan-bahan yang kita butuhkan belum lengkap.” Jawabnya sambil menyimpun beberapa data yang berserakan.
“emang apa saja data-data yang kita perluin, Di?” jawabku ingin membantu.
“data nama-nama penduduk yang menjadi objek penetian kita dan juga data-data statistik tahun kemarin buat acuan kita ngerjain tugas ini.” Jawabnya panjang lebar.
“itu aja? Nanti aku coba cari deh” jawabku padanya.
“Andai saja aku bisa menyelesaikan tugas ini dengan lebih cepat, aku pasti bisa mengikuti shalat ied bersama mama dan pergi ziarah ke makan papa.” Curhatku dalam hati.
Akhirnya, dengan kerja keras siang dan malam, begadang, telat makan, hingga pulang sampai larut malam aku bisa mendapatkan semua data-data dan kebutuhan lain yang diperlukan. Bahkan, 1 minggu sebelum penelitian, kami sudah berhasil mengumpulkan semua bahan dan data yang kami perlukan. Hingga akhirnya,
“halo. Di, aku udah dapat semua data dan hal lain yang kita perlukan nih” kataku dengan bersemangat saat ku telfon Adi.
“oh iya, cepat banget kamu dapat. Besok udah siap?” tanyanya padaku
“besok? Yang lain udah siap belum?” tanyaku balik
“mereka siap-siap aja kok. Tinggal tunggu persetujuan kamu nih.” Kata Adi.
“aku pasti siap kok. Siap kapan aja dan dimana aja. Hehehe” jawabku senang
“oke. Besok kita ketemu ditempat biasa ya jam 8 pagi. On time” katanya dengan nada penegasan.
“oke deh.” jawabku lugas.
Akupun segera tidur lebih awal agar besok dapat bangun lebih cepat dan juga punya banyak waktu untuk mempersipkan ini itu dan tak lupa agar besok bisa on time sampai ditempat yang telah kami sepakati. Aku pejam mataku perlahan sambil kubaca doa hingga terlelaplah aku dalam mimpi terindahku. Tak lama kemudian aku melihat seberkas cahaya disudut ruang kecil yang gelap itu. Entah mengapa bayangan itu semakin mendekat dan terus mendekat ke arah dimana aku berdiri. Sambil ku lindungi mataku dari silaunya cahaya itu, semakin pula otakku mencoba menerjemahkan wajah tirus itu. Wajah yang pernah aku lihat sebelumnya. Wajah seseorang yang begitu tak asing. Aku sontak terkejut saat dia memulai percakapan kilat itu dan tiba-tiba…
“kriiiiiing… krrriiinnnggg… krriiiinnggg!!!” bunyi suara alaram itu tak hentinya terus berkicau tepat disamping telingaku. Akhirnya aku terpaksa bangun dan duduk sejenak. Aku coba mengingat-ingat lagi mimpiku semalam. Tapi semakin ku ingat, semakin pula bayangan demi bayangan itu musnah dari pikiranku.
“Astaghfirullah. Udah jam 5 lewat.” Kataku kalang kabut.
Tanpa mengambil tempo sedikitpun, aku langsung melangkahkan kakiku menuju kamar mandi untuk shalat subuh. Setelah itu aku langsung mempersiapkan beberapa baju, alat-alat dan bahan-bahan yang akan kubawa nanti. Karena ini sebuah proyek besar, kami semua membawa beberapa baju yang akan kami pakai disana. Kami akan menetap hingga beberapa hari disana dan aku sangat senang akan hal ini. “Sebentar lagi aku akan lulus dan aku harus memenangkan proyek besar ini.” Teriakku dalam hati. Setelah semua barang sudah tak sabar lagi untuk diajak pergi, aku putuskan untuk mandi. Sarapan pagi telah menungguku untuk disantap. Disepanjang pagi ini, aku terus mendapatkan banyak nasehat dari mama. Maklumlah, aku sangat jarang untuk pergi lama meninggalkan rumah apalagi mama sangat kesepian di rumah karena aku adalah anak semata wayangnya. Aku hanya terus mendengar dan terus pula menghabiskan seluruh makanan yang ada di meja makan.
“mam, aku pergi dulu ya. Mama jaga diri di rumah ya. Oh ya, jangan  lupa doakan aku” pintaku pada mama.
“iya. Ingat semua nasehat mama ya. Mama akan jaga diri kok dan mama akan selalu mendoakan kamu” jawab mama padaku.
Tanpa bisa berkata lebih banyak lagi, aku cium tangan mama lalu kupeluk dia erat. Aku pasti akan merindukan wanita ini. Wanita terhebat dengan perasaan lembutnya. Tak lama itu, aku pamit dan langsung meluncur ke TKP. Disana sudah kulihat Adi, Rahmi, dan Chaerul dengan barang-barang mereka yang lumayan banyak.
“Hai. Udah siap dengan petualangan kita sebentar lagi?” tegur Chaerul padaku.
“udah pasti siap dong” jawabku antusias
“gimana, udah siap semua barang-barangnya kan?” tanya Adi padaku.
“sip bos!” jawabku.
“oh iya, yang lain kok belum pada nongol ya? Ini kan udah hampir jam 8” ucap Rahmi yang mulai gelisah.
“sabar aja dulu, Mi. mungkin udah deket” jawabku menenangkannya.
“iya. Kita tunggu aja deh bentar lagi” tambah Adi.
Akhirnya, kami menunggu hingga Faisal dan Batih datang. Mereka cukup lama hingga kami merasa jenuh untuk menunggu mereka. Akhirnya untuk mengurangi kebosanan itu, kami mulai bercengkrama dan membuat berbagai agenda acara yang akan kami lakukan disana. Kami punya rancangan rencana yang begitu banyak, terstruktur dan tentunya gila. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, sudah satu jam kami menunggu dua orang bujang itu. Dan akhirnya mereka tiba juga dengan nafas yang sangat tersendat-sendat. Mereka tampak seperti sejoli yang telah dikejar-kejar segerombolan anjing lapar yang 3 hari tidak makan. Mereka juga tampak basah dengan aroma yang sedikit menyengat. Tampak juga barang-barang mereka sudah tak teratur bentuknya. Tasnya tidak terkancing, baju mereka bau, lusuh, dan basah.
“hei, kalian darimana aja sih?” tanya Adi yang mulai emosi.
“iya nih, kita udah ketinggalan kereta tahu.” Tambah Rahmi.
“kalian kok basah gini?” tanyaku pada mereka
Mereka tak dapat menjawab satupun dari seluruh pertanyaan yang kami ajukan. Mereka hanya dapat terduduk lelah sambil melambaikan tangan kanan mereka bertanda meminta kami untuk tenang dulu. Mereka tampak sangat dehidrasi. Akhirnya kuberikan mereka sebotol air minum untuk menambah cairan didalam tubuh mereka. Setelah berhasil “mengumpulkan nyawa” akhirnya mereka angkat bicara juga.
“bro, sorry ya kita telat” kata Faisal memulai pembicaraan
“memangnya kenapa kalian bisa telat?” tanya Chaerul
“Ah sudah-sudah. Kalau kalian mau bertanya-tanya  dengan mereka nanti saja. Kita harus cari cara bagaimana kita harus bisa sampai di Desa Suka Maju dengan  cepat.” Jawab Adi yang mulai cemas.
“malah kita udah ketinggalan kereta lagi” kata Rahmi yang mulai bingung.
“gara-gara kalian nih” kata Chaerul menyalahkan
“daripada kita bertengkar dan akhirnya telat, mending kalian ikut aku deh. dibelakang gedung yang besar itu ada terminal bus. Kita berdoa aja semoga kita dapat tumpangan disana. Ayo, guys!” ajakku sambil mulai berlari menemukan terminal itu.
Tak lama setelah berlari-lari hingga menjadi pusat perhatian, akhirnya kami sampai di terminal tersebut dan langsung mencari-cari  bus tujuan kami. Untung saja pada saat itu dewi fortuna sedang berada dipihak kami, akhirnya kami naik dan tertidur pulas diatas bus hingga sampai di tujuan. Tak ada satu katapun yang terucap dari mulut kami. Semua lelah terlebih lagi Faisal dan Batih.
Setelah melewati perjalanan jauh sekitar 3 jam, akhirnya kami sampai di Desa Suka Maju. Pemandangan pertama yang kami saksikan adalah wajah kecut warga desa tersebut yang seakan enggan menerima kedatangan kami. Aku kira kami akan diterima dengan lapang dada, senyuman manis, disediakan makanan-makanan banyak dan lezat serta dipersilahkan untuk langsung beristirahat di tempat yang empuk dan dingin. Badan dan tulangku seakan ingin remuk. “oh tuhan, aku ingin tidur” pintaku dalam hati.
“Assalamualaikum, Pak. Maaf kedatangan kami terlambat dari jadwal yang telah kita sepakati.” Adi memulai pembicaraan.
Bapak itu tak menjawab permohonan maaf Adi dan malah semakin ingin marah.
“pak, tadi kami ketinggalan kereta api dan terpaksa harus naik bus sehingga banyak memakan waktu” tambah Rahmi.
“iya, pak. Kami nggak bermaksud untuk ingar janji kok.” Tambahku dengan muka polosku.
Dengan tatapan dendam dan sinis akhirnya bapak itu mulai berbicara.
“hey anak muda, kalian pikir kami anak kecil yang mudah dipermainkan seperti ini? Seenaknya saja terlambat. Seenaknya saja datang sesuka hati. Kami tahu kalian anak kota. Anak mami yang manja. Anak yang tidak tahu tanggung jawab dan janji.” Jawab bapak itu panjang lebar.
“tapi, pak” sambung Chaerul
“tapi apa? Kalian kerjaannya cuma bisa memutar balikkan kata-kata. Beralasan seolah tak salah. Bermanis kata agar dimaafkan. Iya kan?” jawab bapak itu dengan luapan emosi.
“kami akan jelaskan ini semua, Pak” tandas Adi.
“penjelasan apa lagi? Hey nak, demi kalian kami rela bangun subuh-subuh untuk mempersiapkan segala yang kalian perlukan selama disini dan selama kalian melakukan penelitian di desa kami ini. Kami sudah siapkan beberapa hiburan kecil untuk menyambut kedatangan kalian semua, kami sudah siapkan sebuah rumah warga untuk tempat kalian beristirahat selama disini, kami telah masakkan kalian makanan yang sangat banyak untuk dinikmati bersama. Dan perlu kalian tahu, kami semua bahkan rela untuk meliburkan diri kami dari pekerjaan kami sehari-hari yang artinya bahwa tidak ada gaji untuk kami hari ini”
Tiba-tiba aku tersontak kaget mendengar penjelasan panjang lebar dari bapak itu. Kami merasa sangat bersalah. Terlebih lagi aku. Kami tak dapat berkata apa-apa. Kami hanya tertunduk lusuh dan malu. Aku tak hanya habis pikir, kenapa kami yang notabene adalah seorang generasi muda apalagi kami adalah sekelompok kaum intelektual muda yang harusnya memiliki jiwa menghargai waktu yang tinggi, disiplin, dan juga bertanggung jawab. Aku miris melihat tingkah laku kami yang selalu egois, individualisme, dan tidak menghargai orang lain.
“pak, kami mohon maafkan lah kami” ucapku refleks.
“iya, pak. Kami mohon maafkan kami. Kami janji tidak akan mengulanginya lagi” tambah Rahmi.
Bapak itu tidak memperdulikan apapun yang kami katakan. Dia hanya diam dengan amarahnya. Ia pun lalu pergi meninggalkan kami. Kami semakin sedih dan kulihat Rahmi mulai menangis. Baru setengah perjalanan bapak itu melangkahkan kaki, tiba-tiba…
“ingat ya, bapak akan batalkan perjanjian kita sebelumnya!” suaranya lantang menggelegar
Bak petir di siang bolong, kata-kata yang baru saja kudengar bak panah yang telah menembus jantungku. Tiba-tiba pikiranku melayang jauh entah kemana. Kuingat lagi wajah mama, papa, dosen pembimbing kami, teman-teman kampus, dan juga dia. Aku memang bodoh dan aku telah sukses membuat mereka kecewa. Kulihat tangisan Rahmi kian membanjir, kulihat Batih menghantuk-hantukkan kepalanya ke pohon, kulihat mata Faisal yang mulai berkaca-kaca, dan kulihat juga Chaerul dan Adi yang berusaha menegarkan diri mereka.
“ini semua salahku.” Seru Faisal.
“dan salahku.” Sambung Batih.
“kenapa ini semua bisa terjadi ya Allah.” Jeritku dalam hati.
Tak ada satupun dari kami yang dapat mengeluarkan sebuah huruf. Kami berada pada titik keputus asaan. Dimana hanya ada kecewa dan tak ada setitik harapan di hati kami. Pikiran kami kosong. Tubuh kami kaku tak berdaya, mulut kami terpasung. Kami sekarang adalah mahasiswa-mahasiswa yang tak tahu masa depan kami. Gelap tak terarah. Tapi semakin lama kami membeku ditempat yang terik ini, semakin ku lihat jelas wajah dimimpiku semalam yang membuat jiwaku memberontak tak terkendali. Kulangkahkan dengan tegas kedua kakiku ke titik dimana bapak itu tepat berdiri. Kutatap tajam wajahnya dan legam kulitnya yang keriput. Kurasakan diriku telah menangis dan kusujud tepat dikakinya.
“pak, tolonglah kami. Kami tahu kami hanya selisih beberapa menit dari janji kita sebelumnya. Kami tidak pernah berniat untuk tidak menghargai apalagi tidak bertanggung jawab dengan janji kami, pak. Pak, kami takut mengecewakan orang tua dan dosen kami. Kami takut tahun ini tidak bisa mengikuti ujian, pak. Terimalah kami, pak. Tolong maafkan kami semua.” Kataku kepada bapak itu.
Ia tak langsung menjawab pertanyaanku. Ia tetap saja diam, kaku, dan beku. Aku juga sadar bahwa pasti saat ini dendamnya sudah teramat dalam kepada kami. Ia hanya menatapku beberapa detik dan membuang pandangannya lagi.
“saya akan maafkan kalian. Tapi dengan satu syarat!” ucap bapak itu memecah kesunyian.
“syarat apa, pak? Pasti akan kami penuhi.” Jawabku sambil kuhapus air mataku.
“karena disini saya adalah kepala desa sekaligus kepala sekolah dasar satu-satunya di desa ini saya meminta kalian semua untuk membantu saya dan juga guru-guru desa disini untuk mencerdaskan anak-anak bangsa Indonesia yang saat ini dijajah oleh kebodohan.” Kata bapak itu tegas
“jadi maksud bapak kami akan menjadi tenaga pengajar SD di desa ini?” kataku memastikan.
“benar. Bagaimana, kalian setuju?” lanjut bapak itu.
“gimana teman-teman, kalian setuju nggak?” tanyaku pada mereka.
Setelah kutanyakan kepada semua teman-temanku, akhirnya mereka setuju dan bersedia menjadi guru SD sementara di desa ini. Bapak itu senang sekali dengan persetujuan kami dan akhirnya tidak marah lagi dengan kami semua. Beliau juga tidak akan membatalkan perjanjian yang telah kami sepakati dulu. Kami sangat senang dan begitu lega. Setelah kami diskusikan bersama, akhirnya Rahmi akan menjadi guru Bahasa Indonesia, Faisal akan mengajar Bahasa Inggris, Batih mengajar IPS, aku akan mengajar IPA, Adi akan mengajar Agama Islam, dan Chaerul akan mengajar Matematika. Kami mengajar dengan sangat bersemangat dan antusias. Disela-sela waktu senggang, kami terus melakukan penelitian kami agar penelitian kami kali ini cepat selesai dan cepat kami serahkan kepada dosen. Kami juga rindu keluarga dan teman-teman kami dikampus. Namun pelajaran dan pengalaman yang kami dapatkan di desa ini sungguh luar biasa dan takkan kami lupakan.
“akhirnya penelitian kita selesai juga, Alhamdulillah ya Allah” kataku kepada seluruh teman-teman.
“oh iya, beneran? Nggak terasa ya.” Sambung Chaerul.
“tapi, aku pasti bakalan kangeeeen banget sama anak-anak disini. Mereka itu lucu, nurut, baik, dan cerdas lagi. Mereka itu mau berusaha untuk belajar walau diselimuti oleh kemiskinan. Mereka tidak pernah mengeluh walau hanya memakai sandal ke sekolah.” Tambah Rahmi.
“iya, aku juga kagum oleh semangat mereka yang haus akan ilmu.” Sambung Faisal.
“kalian benar, dan disini kita juga diajar bagaimana cara menghargai waktu, disiplin, bertanggung jawab, dan mau menghargai orang lain.” Sahut Adi.
“aku kok jadi sedih ya udah mau pergi dari desa ini” kata Batih.
“iya, aku tahu kok perasaan kalian semua. Aku juga ngerasain yang kalian rasakan. Tapi kita juga punya tanggung jawab di kampus dan di rumah kita masing-masing.” Jawabku menengahi.
“jadi, kapan kita selesaikan laporan kita, pamit sama anak-anak, dan pamit sama seluruh warga desa dan bapak kepala desa?” tanya Adi pada kami semua.
Akhirnya kami memutuskan untuk menyelesaikan laporan kami besok pagi sekaligus berpamitan dengan anak-anak di sekolah dan lusanya kami akan mengadakan acara perpisahan dengan bapak kepala desa beserta seluruh warga desa. Kami sangat sedih namun kami juga sangat senang dengan semua ini. Kami sedih karena kami akan berpisah dengan anak-anak desa yang luar biasa, warga-warga desanya yang begitu ramah dan kepala desanya yang pantas dijadikan teladan. Di hari terakhir kami, kulihat beberapa anak-anak dan ibu-ibu mereka menangis. bapak-bapak mereka juga tampak sedih begitu pula dengan bapak kepala desa. Dibalik tangis dan sedih mereka ada haru akan kerja keras kami selama tinggal di desa ini.
“pak, kami mohon pamit untuk pulang ke rumah dan kembali ke kampus.” Adi memulai pembicaraan.
“iya, pak. Kami juga mohon maaf atas segala kesalahan dan perbuatan kami yang tidak berkenan di hati bapak.” Sambung Chaerul.
“kami juga mengucapkan terima kasih kepada bapak atas segala keperluan, kebutuhan dan kebaikan yang telah bapak dan warga-warga berikan kepada kami semua.” Tambahku.
“oh iya, pak. Kami juga nggak lupa mengucapkan terima kasih kepada adik-adik semua yang mau menerima kami dan mau diajak bekerja sama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.” Lanjut Faisal.
“ini, pak. Kami ada sedikit kenang-kenangan yang nggak seberapa harganya dibandingkan apa yang telah bapak berikan kepada kami. Tapi kami berharap bapak berkenan menerimanya.” Kata Batih sambil menyerahkan beberapa kenang-kenangan.
Rahmi tak dapat berkata apa-apa lagi. Ia hanya menangis terharu menyaksikan peristiwa sakral tersebut. Peristiwa yang mungkin akan terjadi sekali didalam hidup kami. Peristiwa luar biasa yang tidak dapat dibeli dengan emas dan berlian sekalipun. Ilmu yang tak dapat kami terima dari guru manapun.
“selamat jalan ya anak-anak, kami pasti akan merindukan kalian.” Ucap Rahmi sambil memeluk murid-muridnya.
“Pak, kami pamit pulang. Sekali lagi mohon maaf atas kesalahan kami dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya. Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.” Kata Adi sambil naik ke dalam bus.
Setelah bersalaman dengan seluruh warga desa, satu persatu dari kami mulai menaiki bus dengan rasa bahagia dan ikhlas. Di dalam perjalanan kami hanya tertidur pulas karena kelelahan. Sesekali aku terbangun dan mendapati Adi masih saja sibuk menyempurnakan laporan yang telah kami buat. Akhirnya kuputuskan untuk berbincang panjang dengannya.
“Adi, kamu ngapain?” tanyaku padanya.
“ini, aku lagi memperbaiki laporan kita. Ada beberapa yang salah dan keliru.” Jawabnya padaku.
“mau aku bantu?” tanyaku balik.
“nggak usah. Kamu tidur aja, kamu pasti kecapean.” Jawabnya padaku.
“nggak kok. Aku nggak capek. Sini aku aja yang lanjutin. Dari tadi kan kamu belum istirahat. Lagian perjalanan masih lama kok.” Ucapku ke Adi.
“gak apa-apa aku aja yang selesaikan. Kalau memang kamu nggak bisa tidur, kamu temani aku bicara aja.” Kata  Adi padaku.
“oh iya deh. By the way, kapan nih kamu hubungi dosen kita untuk presentasi?” tanyaku padanya
“kok kamu mau cepat-cepat sih presentasinya. Padahalkan kan tugas ini deadline-nya masih lama.” Jawabnya
“nggak, aku cuma pengen cepat aja nyelesaiinnya lagian kan udah selesai juga. Semakin cepat kan semakin baik.” Jawabku lugas
“iya, kamu bener juga sih. Ngapain juga kita undur-undur waktunya kalau memang udah selesai. Kalau besok lusa kalian siap nggak kira-kira?” tanyanya padaku.
“aku sih siap-siap aja. Asal cepat selesai. Lagian aku pengen banget didetik-detik lebaran nanti aku free dan nggak dibebani dengan apa-apa.” Sambungku.
“sama dong. Hmmm, aku coba telfon Prof. Basri dulu ya. Siapa tahu aja kita udah bisa presentasi lusa.” Ucapnya sambil memencet beberapa tombol di hp-nya.
“oke.” Jawabku singkat.
Setelah melewati perjalanan yang cukup jauh, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Kami pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah, kulihat mama sedang asyik menonton televisi. Aku sengaja tidak memberitahukan kapan aku pulang. Aku ingin membuat surprise kecil untuknya.
“mama… aku pulang!” teriakku dari balik pintu
“Alhamdulillah kamu udah pulang. Aduh mama kangen banget sama kamu.” Ucap mama sambil menghampiriku
“mam, maafin aku ya pulang nggak ngasih tahu mama.” Kataku sambil memeluknya
“iya nggak apa-apa. Melihat kamu pulang dengan selamat udah buat mama lega kok.” Jawab mama.
Setelah saling melepas rindu, akhirnya aku langsung menuju kamarku untuk mandi. Sudah cukup lama aku tak mandi selama disana. Di desa yang waktu itu aku dan teman-teman kunjungi memang sulit akan air bersih. Jadi selama disana aku jarang mandi. Tidak hanya aku, teman-temanku pun demikian namun untung saja tidak ada satupun dari kami yang terserang penyakit alias sehat wal afiat. Mungkin karena kebersamaan membuat kami kuat dan memiliki sistem imun yang tangguh. Setelah itu, aku langsung makan dan bercengkerama dengan mama di ruang tamu. Aku menceritakan semua pengalaman dan hal-hal luar biasa yang aku alami selama disana. Mama sangat senang dan begitu tertarik dengan ceritaku.
Dua hari kemudian kami bersiap-siap untuk mempresentasikan laporan hasil penelitian kami sewaktu di Desa Suka Maju itu. Dengan penuh kesiapan mental yang cukup, keberanian yang lumayan, dan dicampur dengan suara dag dig dug jantung kami, kami mulai memasuki ruang kelas untuk mempresentasikan hasil penelitian kami. Dengan tenang tapi pasti, kubuka acara itu dengan sangat mulus. Namun ditengah-tengah penampilan kami, presentasi kian memanas dan penuh perdebatan. Tetapi Alhamdulillah tim kami dapat mengatasinya dengan sangat baik. Akhirnya kami mendapatkan apresiasi yang sangat baik didalam presentasi kami alias mendapat nilai A+ dari seorang dosen yang terkenal killer itu. Akhirnya beban tugasku lepas sudah. Aku sudah bisa bernafas lega sambil menunggu detik-detik lebaran.
“Alhamdulillah ya, mam. Tahun ini kita masih bisa merayakan sholat ied bareng walaupun tanpa papa” ucapku ke mama
“iya Alhamdulillah, nak. Semoga setelah hari raya ini kita semakin mendekatkan diri dengan Allah dan menjadi lebih baik dari sebelumnya ya” kata mama padaku.
“iya mam. Kita harus bisa berusaha menjadi yang lebih baik lagi.” Sambungku
“iya, nak” jawab mama singkat.
“mam, pulang dari sini langsung ke makam almarhum kakek, nenek, dan papa yuk.” Ajakku ke mama.
“iya, kita juga udah lama banget nggak kesana. Udah hampir 5 tahun loh.” Jawab mama padaku
Akhirnya, setelah selesai sholat dan mendengarkan khotbah, kami langsung menuju tempat pemakaman umum yang cukup jauh dari rumah kami. Aku hanya membawa sebotol air tanpa membawa kembang. Di dalam ajaran agama islam, nabi Muhammad SAW tidak pernah mencontohkan dirinya membawa kembang-kembangan sewaktu berziarah kubur. Namun yang beliau bawa hanyalah air saja. Hal itu aku dengar dari ibu guru agamaku sewaktu SMA dulu. Kata beliau, budaya menabur kembang itu diserap dari agama selain islam. Mungkin masyarakat yang tidak tahu terbawa oleh kebiasaan tersebut hingga saat ini. Menurutku itu tidak salah hanya saja nabi SAW tidak pernah mencontohkannya.
Setelah sampai tepat didepan TPU, aku dan mamapun berjalan masuk mencari pusara keluarga kami. Mama berjalan tepat didepanku karena hanya mama yang ingat dimana pusara tersebut. Setelah mendapat makam kakek, nenek, dan papa, kami menyiram makam mereka dengan air lalu aku dan mama berdoa untuk keselamatan mereka di sana. Di perjalanan menuju mobil, aku sontak terkaget.
“mam, ini bukan makam Bintang kan?” sahutku yang sedikit shock.
“Bintang? Masa sih? Kamu salah orang kali” jawab mama
“aku nggak salah, mam. Ini makam bintang?” air mataku mulai meleleh
“memangnya nama dinisan ini beneran namanya? Kamu jangan langsung nangis gitu dong” ucap mama berusaha menenangkanku
“mam, coba mama lihat sendiri “Rizkynaufal Bintang Makara” itu nama panjang dia mama” jawabku sambil menunjuk nisan itu.
“nama seperti itukan banyak, memangnya nama orang tuanya benar?” jawab mama yang berusaha menghapus air mataku.
“aku nggak percaya ini semua. Kamu nggak mungkin mati, Bintang.” tangisku makin menjadi-jadi.
“kamu jangan nangis gini dong” sahut mama
“mam, coba mama baca deh. Di nisan itu tertulis nama “Rizkynaufal Bintang Makara Bin Yahya”, lahir pada tanggal 13-03-90 dan wafat pada tanggal 13-03-2008”. Itu beneran bintang mam.” Tangisku tumpah diatas pusara Bintang.
“iya, ini beneran Bintang. Kamu yang sabar ya sayang. Mungkin ini sudah jalan Allah dan kamu harus mengikhlaskan dia pergi dari sisi kamu untuk selama-lamanya. Mungkin ini berat untuk kamu terima saat ini, tapi yakinlah jika kamu mengikhlaskannya karena Allah, Allah pasti akan memberikan kamu kawan yang jauh lebih baik dari Bintang.” Kata mama berusaha menegarkanku.
“tapi, mam. Kenapa aku harus tahu sekarang? Aku udah lama terluka karena dia dan akhirnya aku sembuh dan saat ini ditempat ini, luka yang aku kira sudah mengering itu ternyata masih terluka didalamnya. Sakit, mam. Sakit banget.” Kataku sambil kupeluk mama.
“iya, mama tahu kok perasaan kamu. Mama bisa ngerasain apa yang kamu rasakan saat ini. Mama tahu ini sakit banget buat kamu. Tapi apa boleh buat? Kita sebagai manusia nggak bisa berbuat banyak tanpa izin Allah, nak. Jadi kalau memang Bintang udah di takdirkan untuk meninggalkan kamu selama-lamanya, ini adalah takdir Allah yang nggak bisa kita tentang. Mama harap kamu bisa tegar dan ikhlas menghadapi kenyataan pahit ini. Mama yakin kamu bisa kok melewati masa-masa ini. Kamu pasti bisa.” Ucap mama menegarkanku.
“iya, mam. Mama benar, aku nggak seharusnya menangis seperti ini. Bintang juga pasti akan sedih melihat aku menangisi dia disana. Aku harus ikhlas menjalani takdir yang Allah berikan untuk aku dan Bintang.” Jawabku sambil menghentikan tangisanku.
Akhirnya setelah aku melihat dan juga berdoa untuk keselamatannya tepat di pusara ini, aku dan mama memutuskan untuk pulang ke rumah. Walaupun sangat sedih, aku cukup lega karena setelah bertahun-tahun lamanya aku menunggu kabar dari dia akhirnya aku mendapati dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Sudah tidak ada lagi Bintang, tempat aku menorehkan segala suka dan lukaku. Kini, dia hanyalah tinggal sebuah kenangan termanis didalam hidupku. Walaupun dia sudah tidak ada lagi di dalam hari-hariku, tetapi dia telah terukir indah di relung hatiku.
“Bintang, bolehkah ku buka hatiku untuk cinta yang lain?”
THE END

No comments:

Post a Comment