Sinopsis Novel “Sang Pemimpi”
Karya Andrea Hirata
Cerita
di dalam novel ini diawali oleh kelakuan jahil Arai yang dengan sengaja
mengikuti setiap gerak-gerik Pak Mustar yang sedang serius berpidato di atas
podium saat upacara bendera yang rutin setiap senin pagi dilaksanakan. Kala
itu, Pak Mustar yang terkenal sangat Killer
mengunci pintu gerbang sekolah setengah jam sebelum jam upacara biasanya
dilaksanakan. Akhirnya banyak siswa yang terlambat temasuk Arai. Akibat tindakan
Pak Mustar pagi itu. Arai, sang pemimpin pasukan habis-habisan bergaya ala Pak
Mustar berpidato sehingga mengundang amarah yang sangat luar biasa dari beliau.
Tiba-tiba saja Pak Mustar dan kedua penjaga sekolah telah berada dibelakang
Arai dan siap menerkam Arai and the Gang
yaitu Ikal dan Jimbron yang sedang cekikikan melihat kelakuan Arai tadi. Melihat
hal tersebut, ketiga bersahabat itu langsung pucat pasi diam seribu bahasa dan
siap-siap mengambil ancang-ancang untuk lari dari terkaman Pak Mustar.
Kejar-kejaran
pun tak dapat dielakkan, namun celakanya hanya Ikal yang menjadi sasaran Pak
Mustar dan pengawalnya. Setelah beberapa menit mencoba meloloskan diri dari
maut, akhirnya Arai, Ikal, dan Jimbron bersembunyi didalam peti es Ikan milik Capo Lam Nyet Pho yang baunya sungguh sangat
amis luar biasa. Dari dalam peti tersebut mereka melihat Pak Mustar dan
ajudannya sedang mondar-mandir mencari mereka. Namun betapa kagetnya ketiga
bersahabat itu saat merasakan peti itu terangkat menuju pasar ikan yang begitu
ramai. Yang paling menegangkan adalah detik-detik Capo membuka peti es ikan tersebut lalu mendapatkan Arai, Ikal, dan
Jimbron tengah bersembunyi didalam peti es ikannya. Lalu dengan refleks Capo meneriakkan “Ikan Duyung” sambil
menunjuk-nujuk ke wajah ketiga anak jahil tersebut.
Arai
sang simpai keramat adalah saudara sepupu jauh Ikal yang kini telah menjadi
yatim piatu setelah ibu dan adiknya meninggalkannya terlebih dahulu dan ketika
menginjak kelas tiga SD ayahnya juga meninggalkannya sebatang kara di tengah
ladang tebu yang tak terurus nun jauh di sana. Simpai keramat adalah julukan
orang Melayu kepada orang terakhir yang tersisa dari suatu klan. Dan setelah
secara sah menjadi seorang simpai keramat, ayah Ikal lalu mengasuh Arai dan
menganggapnya sebagai anak sendiri. Ketika itu pula Ikal girang tak kepalang karena
telah mendapatkan saudara baru yang sungguh luar biasa. Kini, mereka selalu
bersama-sama dimanapun dan kapanpun. Bagi Ikal, Arai adalah sosok yang begitu
mengagumkan, ia selalu menjadi pelindung dan abang yang terbaik bagi Ikal.
Suatu
hari ketika Ikal dan Arai sedang asyik bermain teleponan melalui kaleng Botan
di kandang Ayam, terlintas Mak Cik Maryamah dan anak-anak perempuannya yang
memasuki pekarangan rumah dan menemui ibu Ikal untuk meminjam beras. Tampak
kesedihan diwajah keluarga kecil itu. Setelah mendapat pinjaman beras, Mak Cik
Maryamah mendesak Nurmi, anak tertuanya untuk menyerahkan biola kesayangannya.
Namun ketika ingin menyerahkannya, ibu Ikal menolak dan mengerti bahwa Nurmi
tak dapat dipisahkan oleh biola tersebut.
Setelah
terlihat jauh Mak Cik Maryamah dan anak-anaknya pergi meninggalkan rumah Ikal,
tanpa mengambil tempo Arai menyeret Ikal menuju kamar mereka yaitu gudang peregasan untuk memecahkan tabungan
miliknya dan tanpa dikomando, Ikal juga memecahkan celengannya yang telah lama
ia tabung. Awalnya Ikal mengira bahwa uang hasil tabungan mereka tersebut akan
diberikan kepada Mak Cik Maryamah ternyata Arai membawa hasil tabungan tersebut
ke sebuah toko kelontong A Siong. Dan setelah sampai ditoko itu Ikal bingung
apa yang akan dilakukan oleh Arai karena ia tak rela uang hasil tabungannya
disalahgunakan. Setelah beberapa kali bertanya kepada Arai maksud dari
tindakannya tersebut, Arai tak juga menjawab dan tetap saja sibuk membeli
beberapa kilo terigu, gandum, gula dan minyak. Karena telah muak Ikal yang
kesal lalu menyerang Arai dan perkelahian hebat pun dimulai. Setelah beberapa
kali adu serangan, Arai pun meronta hingga membuat lemari raksasa yang ada
ditoko itu limbung, tiba-tiba tiga karung kertas berisi kapuk pecah dan berjatuhan
dari rak lemari tembakau lalu menghambur-hamburkan gumpalan kapuk yang memenuhi
dan berserakan di lantai toko A Siong. Setelah berhasil mengacaukan toko itu,
mereka kemudian berlalu dengan bersepeda menuju rumah Mak Cik Maryamah. Arai
langsung menyerahkan karung-karung yang ia beli tadi lalu menjelaskan bahwa
mulai saat ini keluarga kecil itu sudah akan mendapatkan penghasilan dengan
membuat kue lalu Arai dan Ikal-lah yang membantunya menjual kue-kue yang telah
dibuat. Betapa senang hati Mak Cik pada saat itu. Mata Mak Cik hanya
berkaca-kaca saat itu dan Ikal telah mengerti maksud mulia dari sang simapai
keramat.
Karena
Belitong tak memiliki Sekolah Menengah Atas atau SMA, akhirnya setelah tamat
SMP Ikal, Arai, dan jimbron merantau ke Magai untuk bersekolah di SMA Bukan
Main. Demi menyambung hidup dan untuk membiayai sekolah, mereka bekerja sebagai
kuli ngambat walaupun sebelumnya
pernah menjadi penyelam di padang Golf lalu beralih mejadi part time office boy di kompleks kantor pemerintah. Pekerjaan
sebagai kuli ngambat harus mereka
tekuni mulai dari jam dua dini hari hingga jam enam pagi hingga mereka masih
bisa bersekolah pagi harinya. Di sekolah, pelajaran yang sungguh mengesankan
dan membawa banyak inspirasi adalah pelajaran Sastra yang diajar langsung oleh
Kepala sekolah mereka: Bapak Drs. Julian Ichsan Balia. Pada waktu itu beliau
memperlihatkan sebuah gambar yang tampak seorang pelukis sedang menghadapi
sebidang kanvas. Ada sedikit coretan
impresi. Dan nun jauh disana, dibelakang kanvas itu berdiri menjulang
menara Eiffel yang menunduk memerintahkan Sungai Seine agar membelah diri
menjadi dua tepat di kaki-kakinya. Dan pada saat itu, Arai, Ikal, dan Jimbron
mengkristalisasikan harapan agung mereka dengan bercita-cita ingin bersekolah
ke Prancis dan menginjakkan kaki di altar suci almamater Sarbonne lalu
menjelajah Eropa sampai ke Afrika.
Setelah
semester lamanya belajar, hari yang paling ditunggu-tunggu pun tiba yaitu hari
penerimaan rapor. Demi mengambil rapor Ikal dan Arai, ayah Ikal rela mengambil
cuti selama dua hari untuk mempersiapkan segala hal untuk menghadiri acara penerimaan
rapor tersebut. Mulai dari sepatu, ikat pinggang, kaus kaki, sepeda, dan yang
terakhir adalah baju safari empat saku spesial yang hanya dipakai ayah Ikal
untuk acara yang sangat penting. Dan tak
mau kalah, ibu Ikal juga tak kalah repot
dari ayahnya. Sehari semalam beliau merendam daun pandan dan bunga kenanga
untuk dipercikkan di baju safari empat saku ketika menyetrikanya.
Sesaat
setelah sampai di SMA Bukan Main, Pak Mustar telah mengurutkan kursi tempat
duduk untuk para orang tua yang datang dari urutan pertama hingga urutan 160.
Pak Mustar telah memberi nomor kursi besar-besar dan urutan duduk mereka harus
sesuai dengan ranking anak-anak
mereka. Setelah bersepeda kurang lebih 30 kilometer jauhnya untuk sampai di SMA
Bukan Main, akhirnya lelah yang dirasakan ayah Ikal terbalas. Karena dengan
bangga ayah Ikal duduk di kursi nomor 3 yang merupakan rangking Ikal dan juga duduk di kursi nomor 5 yaitu rangking Arai. Setelah mengambil rapot
mereka, beliau tersenyum bangga lalu pulang dan mengayuh lagi sepedanya 30
kilometer jauhnya.
Berbicara
soal bioskop, jangan ditanya lagi. Pak Mustar sudah dengan tegas melarang anak
SMA untuk menonton bioskop. Maka, diantara mereka tiada yang berani untuk
berbicara soal bioskop. Tapi kali ini lain cerita. Sore itu Ikal, Arai, dan
Jimbron yang baru saja pulang sekolah sedang duduk santai di beranda los kontrakan
mereka, tiba-tiba saja datang para petugas bioskop yang mengurai gulungan
terpal besar berukuran 4x3 meter, sebuah poster baru. Poster itu bergambar
seorang wanita yang memakai bawahan hanya secarik kecil berwarna merah dan
didadanya hanya dililit carik merah berupa tali temali sambil menggendong
seekor anjing pudel, terbelalaklah mata mereka. Karena terus menerus melihat
poster tersebut, terbersit rasa penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi dengan
dua carik kecil merah yang dikenakan wanita di poster itu. Setelah mencoba
untuk membeli tiket kepada A Kiun, mereka tidak dibolehkan untuk masuk ke dalam
gedung.
Arai
yang terkenal ide gilanya segera menyusun rencana super jahil agar dapat masuk dan
menonton film tersebut apapun yang terjadi. ternyata ide gila itu adalah
menyamarkan diri seperti orang-orang bersarung. Akhirnya mereka masuk di dalam
antrean panjang orang berkerudung. Sebelumnya mereka mencari sarung yang paling
bau dan berbulan-bulan tak dicuci agar dapat melewati A Kiun dan Pak Cik Basman
dengan mudah. Setelah masuk dengan lancar, mereka pun dengan asyik menonton
film biru Indonesia itu. Setelah mencapai pada klimaks cerita tersebut
tiba-tiba saja muncul tiga bayangan gelap manusia yang menghalangi pandangan
mereka. Dan detik itu juga layar padam dan seluruh batang lampu neon di dalam
bioskop menyala. Salah satu dari ketiga bayangan itu ternyata Pak Mustar! Belum
habis shock yang didera oleh ketiga
berandal itu, Pak Mustar sudah tak habis-habisnya mengomeli mereka lalu
menggelandang mereka keluar bioskop laksana ternak. Namun sebelum meninggalkan
mereka, Pak Mustar sempat melontarkan ancaman yang sungguh menyeramkan untuk
mereka dapatkan senin nanti.
Senin
pagi, Ikal, Arai, dan Jimbron dibariskan terpisah. Ketika Pak Mustar naik
podium, beliau mulai membahas kelakuan tiga berandal sekolah yang terkenal itu.
Ternyata Pak Mustar hanya memberi hukuman kepada Ikal dan Jimbron untuk
membersihkan WC lama agar dapat dipakai lagi, sedangkan Arai ditugaskan untuk
membersihkan kotoran kelelawar di langit-langit seluruh sekolah. Belum berhenti
Pak Mustar berbicara, seluruh siswa yang pernah diperlakukan lebih kejam dari
mereka protes habis-habisan. Pak Mustar mulai berbicara kembali dengan kata-kata
yang lebih tajam. Beliau mengatakan bahwa sebagai pemanasan, Ikal, Arai, dan
Jimbron harus memerankan akting seperti yang mereka lihat pada film tersebut,
sungguh memalukan. Ratusan siswa bertepuk tangan seakan tak sabar untuk
menyaksikan hiburan konyol para berandal sekolah.
Suatu
ketika, secara tiba-tiba Ikal berubah menjadi seseorang pesimistis, malas
belajar, dan tidak bersemangat lagi untuk berlari. Ia dibayang-bayangi perasaan
takut tak dapat lagi melanjutkan pendidikannya setelah tamatnya dari SMA. Ia
takut bernasib seperti temannya Lintang dan Mahar yang putus sekolah dan pada
akhirnya akan menjadi seorang pekerja kasar dan kuli. Sebaliknya, meski
mengalami peningkatan rangking dari
78 menjadi 128, Jimbron tetap selalu optimis! Ia juga baru saja menunggu kapal
barang sahabatnya karena minggu lalu ia telah memesan dua buah celengan
berbentuk kuda berwarna hitam dan putih.
Ikal
dan Arai bertemu dengan Jimbron sewaktu mereka mengaji bersama di masjid.
Jimbron bertubuh tambuh, berwajah seperti bayi, dan jika melihatnya akan timbul
perasaan ingin melindunginya. Jimbron adalah seorang yatim piatu yang kini di
asuh oleh seorang Pendeta berdarah Italia bernama Geovanny. Walaupun seorang
pendeta, Geovanny tak pernah sedikitpun mengonversi keyakinan Jimbron dan malah
tak penah telat mengantar Jimbron mengaji di masjid. Namun satu kekhasan dari
jimbron, ia selalu gagap tapi tak selalu gagap. Ia akan gagap ketika panik atau
bersemangat namun akan menjadi normal jika suasana hatinya sedang nyaman. Jimbron
juga sangat menyukai kuda padahal di Belitong tak ada seekor pun kuda tapi
Jimbron mengenal kuda seperti penah melihatnya. Dan kata orang-orang, hal
tersebut berhubungan dengan sebuah film di televisi balai desa yang ditontonnya
seminggu sebelum ayahnya wafat.
Acara
penerimaan rapor akhirnya tiba. Namun kali ini Ikal pendapat peringkat yang sungguh jelek. Ia
kemudian mendapat makian dari Pak Mustar yang begitu perhatian akan
prestasinya. Ikal takut ayahnya takkan datang untuk mengambil rapornya yang
begitu buruk. Semalam ia tak dapat tidur dan Arai yang mengetahui hal tersebut
menjadi malas berbicara padanya. Namun pagi ini, dari kejauhan nampak seorang
laki-laki bersepeda dan mengenakan baju safari empat saku yaitu ayah Ikal yang
datang untuk mengambil rapor Ikal dan Arai. Penampilan dan sikapnya tak berubah
dan sama seperti semester lalu. Ia juga tak marah akan kemerosotan prestasi
Ikal. Dan seperti biasa setelah mengambil rapor, beliau kembali pulang dengan
mengayuh sepedanya. Sesaat setelah ayah Ikal berlalu, Arai lalu datang dan
memarahi Ikal sejadi-jadinya. Arai merasa kecewa kepada Ikal yang ingin
melupakan mimpi-mimpi besar mereka.
Berita
yang tak kalah menghebohkan datang dari capo.
Ia akan memelihara kuda yang ia beli dari Australia. Ikal langsung mengabarkan
hal tersebut kepada Jimbron. Ia kembali gagap dan tak ada semangat hidup
menjelang hari-hari kedatangan kuda tersebut. Ikal menyesal telah
memberitahukan hal itu kepada Jimbron. Namun, detik-detik kedatangan kuda
tersebut disambut meriah oleh seluruh warga Belitong yang ingin menyaksikan
langsung kuda-kuda hebat dari Australia yang berjumlah tujuh ekor tersebut.
Enam kuda pertama yang keluar dari kapal mualim adalah kuda besar berwarna
coklat yang memiliki tubuh lebih besar dari gajah. Dan kuda terakhir adalah
kuda yang putih bersih dan lebih besar tubuhnya dari kuda lain keluar bersama
seorang pria Australia. Kuda putih itu bernama Pangeran Mustika Raja Brana.
Sungguh suatu kebanggan bahwa Jimbron dapat membawa kuda itu untuk
berjalan-jalan.
Setelah
lulus di SMA Negeri Bukan Main, Ikal dan Arai memutuskan untuk melanjutkan
sekolah ke Jakarta dan akan merantau kesana. Sedangkan Jimbron akan tetap
berada di Belitong untuk mengurus kuda-kuda milik Capo. Namun, karena tak mengikuti jejak kedua sahabatnya, Jimbron
memberikan Ikal dan Arai celengan kuda yang waktu itu ia pesan di Jakarta.
Awalnya mereka menolak namun akhirnya diterima oleh keduanya. Ketika hari
keberangkatan, banyak sekali orang-orang yang mengantar mereka seperti ayah dan
ibu Ikal, Jimbron, Pak Mustar, Pak Balia, dan Bu Muslimah. Mereka berjanji
takkan kembali sebelum menjadi sarjana. Akhirnya, dengan menumpang kapal Mualim
Syahbana, kapal Bintang Laut Selatan pergi menjauhi Pulau Belitong.
Setelah
beberapa hari perjalanan di Kapal, akhirnya mereka sampai di Jakarta dan mereka
akan langsung menuju Ciputat menurut saran Mualim. Namun tanpa disangka-sangka
ternyata mereka terdampar di Bogor dan memulai kehidupan baru disana. Setelah
pada awalnya bekerja sebagai salesman,
merekapun berganti profesi sebagai pekerja di pabrik tali dan pada akhirnya
bekerja di kios fotocopy di IPB. Ketika ada lowongan untuk menjadi salah satu
karyawan di kantor Pos, mereka langsung melamar pekerjaan disana namun hanya
Ikal yang diterima. Sebaliknya Arai kembali menjaga kios fotocopy. Ketika
menjalani masa training kemiliteran
di Cimahi, ternyata diam-diam Arai merantau ke Kalimantan.
Setahun
akhirnya berlalu dan kini Ikal di terima di Universitas Indonesia jurusan
Ekonomi dan tetap bekerja sebagai tukang sortir. Di UI Depok Ikal bertemu
dengan Zakiah Nurmala yang ternyata juga berkuliah di UI jurusan FISIP. Tak
lupa pada saat itu Nurmala menanyakan kabar Arai seakan sedang merindukan The Lone Ranger itu.
Tak
lama waktu berlalu akhirnya Ikal telah menyelesaikan kuliahnya. Namun belum
lama berstatus fresh graduate, Ikal
membaca sebuah pegumuman beasiswa strata dua yang diberikan Uni Eropa kepada
sarjana-sarjana Indonesia. Setelah mengikuti berbagai tes dan berbagai
wawancara, dengan tak sengaja Ikal melewati sebuah ruangan yang terdengar suara
samar-samar namun ia kenal. Dan ternyata orang itu adalah Simpai Keramat! Ikal
sungguh bahagia dapat bertemu kembali dengan Arai. Ternyata Arai kuliah di Universitas
Mulawarman jurusan Biologi dan lulus dengan cum
laude. Setelah saling bertemu akhirnya mereka memutuskan untuk pulang ke
kampung halaman untuk menepati janji mereka yaitu akan pulang jika telah
menjadi sarjana. Di Belitong, Ikal dan Arai bertemu dengan lelaki yang saat itu
bersama anaknya, ia adalah Jimbron. Ternyata ia telah menikah dengan Laksmi dan
memiliki anak. Tak lama berada di Belitong, surat keputusan beasiswa Arai dan
Ikal akhirnya datang ke rumah ayah Ikal. Dan setelah membuka kedua surat itu,
Alhamdulillah Ikal dan Arai berhak menerima beasiswa itu dan masuk di
Universitas sama yaitu Université de Paris, Sarbonne, Prancis.
No comments:
Post a Comment